Diberdayakan oleh Blogger.

Kasus tidak konsistennya hukum di indonesia

Ditolaknya peninjauan kembali kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah kabar buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Nasib dua anggota pimpinan Komisi yang berstatus sebagai tersangka ini tetap terombang-ambing. Inilah kemenangan bagi kalangan yang selama ini berupaya mengerdilkan Komisi.
Mahkamah Agung tentu memiliki alasan yuridis untuk menampik upaya hukum yang diajukan kejaksaan itu. Sesuai dengan undang-undang, perkara praperadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap jika telah diputuskan oleh pengadilan banding. Alasan ini pula yang digunakan oleh Mahkamah untuk menolak peninjauan kembali kasus Bibit-Chandra. Menurut MA, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengadilan tertinggi ini tidak bisa menangani perkara praperadilan.
Konsekuensi penolakan adalah Bibit-Chandra terancam diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, bahkan menerima suap. Kendati tuduhan ini penuh rekayasa, tahun lalu polisi melimpahkan kasus ini ke kejaksaan. Setelah diprotes publik, Kejaksaan Agung menyetop kasus ini dengan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Surat inilah yang digugat lewat praperadilan oleh Anggodo Widjojo, pihak yang mengaku telah berusaha menyuap dua petinggi KPK itu.
Harus diakui, SKPP itu penuh kelemahan. Kejaksaan terkesan setengah hati menyetop kasus ini. Pertimbangan Bibit-Chandra tidak dibawa ke pengadilan bukan karena tidak lengkapnya bukti, melainkan lebih karena alasan sosiologis. Inilah yang membuat pengadilan negeri maupun banding membatalkan SKPP, putusan yang kemudian diperkarakan oleh kejaksaan lewat peninjauan kembali.
Banyak pihak seolah berperan untuk menyudutkan dua petinggi KPK itu. Polisi nekat menetapkan mereka sebagai tersangka kendati buktinya lemah. Kejaksaan pun tidak secara tegas mengoreksi kesalahan ini. Adapun kalangan yudikatif, dari hakim pengadilan negeri hingga hakim agung, hanya melihat kasus ini dari sisi teknis yuridis sekaligus mengabaikan rasa keadilan.
Walau SKPP itu mengandung kelemahan, sebenarnya kejaksaan telah berusaha mengoreksinya. Dalam pengajuan banding dan peninjauan kembali, alasan bahwa kasus ini tidak memiliki bukti yang kuat juga disampaikan. Tapi tetap saja para hakim lebih melihat alasan yang tertulis dalam SKPP. Hakim agung pun hanya memandang kasus ini dari segi prosedur hukum, yang di sisi lain justru menunjukkan tidak konsistennya MA. Sebab, sebelumnya lembaga ini pernah mengabulkan permohonan peninjauan kembali untuk putusan praperadilan.
Mestinya kejaksaan bertanggung jawab atas amburadulnya penanganan kasus ini. SKPP baru dengan alasan yang lebih kuat bisa diterbitkan sehingga Bibit-Chandra tidak perlu dibawa ke pengadilan. Pilihan lain, mengesampingkan perkara ini lewat deponering, kendati tidak mudah karena harus dengan pertimbangan lembaga lain, seperti parlemen.
Kalaupun kemungkinan terburuk yang terjadi, Bibit-Chandra pun tak perlu takut. Menghadapi pengadilan memang membuat mereka harus nonaktif dari KPK. Tapi, dengan cara ini, keduanya bisa membuktikan diri tidak bersalah dan mendapatkan putusan hukum yang final. Kemungkinan ini jauh lebih baik dibanding menjadi bulan-bulanan pihak yang selama ini berusaha mengusik KPK lewat kasus ini.

0 komentar:

Posting Komentar